Sudah
bukan rahasia lagi bahwa di panti pijat tradisional kita tidak hanya
dipijat, tapi lebih dari itu. Untuk pijat plus plus, sebaiknya dipilih
wanita yang berdada besar. Mengapa demikian? Mari simak alasannya.
Hallo pembaca! Aku bukan ingin menyaingi Mas Boedoet, Si Peliput Pijat
yang telah malang melintang di dunia perpijatan itu. Dia memang
“profesional”, sedangkan Aku cuma peselingkuh amatiran yang ingin
pelayanan seks selain di rumah. Aku juga bukan orang kaya seperti Mas
Boed yang dengan mudah mengeluarkan ratusan dollar untuk pelayanan pijat
komplet. Aku hanya punya lembaran “Sokarno Hatta”, bukan George
Washington! Tapi massage service yang Aku dapatkan tadi malam (fresh
from the oven, you know) benar-benar memuaskan sehingga Aku perlu share
kepada Anda. Tepatnya pelayanan “pijat plus plus” empat babak yang rada
unik.
Awalnya, informasi minim yang kudapatkan dari seorang kawan yang tinggal
di Jakarta tentang massage service (lebih tepat dibilang sex service,
sebetulnya) di suatu tempat di Bandung (busyet, dia yang tinggal di
Jakarta malah lebih tahu dariku, dasar aku masih hijau!)
“Namanya ‘ANU Message’, di jalan Otista, berseberangan dengan Pasar Baru, tarifnya seratusan sejam,” katanya.
“Bagus engga cewenya?” tanyaku.
“Loe tahu kan selera gue? Pokoknya engga nyesel.”
Dengan agak ragu (masa sih seratusan cewenya yahut?) akhirnya aku
meluncur juga ke sana. Tak sulit menemukan tempat ini. Hanya jangan ke
sana siang atau sore, macetnya minta ampun. Waktu yang ideal sekitar jam
7 malam, lalu lintas sudah lancar dan belum banyak pelanggan lain
sehingga kita leluasa memilih “pemijat”. Dari depan tempat ini memang
tak menyolok, hanya pintu kaca yang terbuka sebelah. Dengan style yakin
–sembari deg-degan– aku langsung masuk, juga supaya tak sempat ada yang
mengenaliku di pinggir jalan raya ini.
Di ruangan yang remang itu ada satu stel sofa yang diduduki 4-5 cewek
yang berpakaian serba minim. Sejenak aku menyapu pandangan, setengah
bingung. Tapi hanya beberapa detik. Salah satu dari mereka langsung
bangkit dari duduknya begitu melihatku.
“Mau pijat Mas, Ayo..!”
Putih, berwajah mandarin, tingginya sedang, “massa depan” (double “s”
lho, istilahku untuk buah dada) besar dengan belahan yang terbuka jelas,
“massa belakang” yang menonjol ke belakang, rok supermini memamerkan
sepasang paha putihnya yang juga.. besar. Hasil evaluasiku: cewek ini
serba menonjol dan serba besar.
“Ayo Mas, lihat-lihat ke belakang,” ajaknya lagi ketika aku masih terpaku.
Digandengnya tanganku, dibawa melalui pintu kaca lagi di belakang ruangan itu.
Kami melewati lorong lumayan panjang yang di kanan-kirinya terdapat
pintu-pintu kamar terus ke belakang. Pantat besarnya megal-megol seirama
langkah kakinya. Sampai di ujung lorong, dia berhenti di depan jendela
kaca nako.
“Silakan pilih,” katanya sambil menutup kaca nako itu.
Rupanya jendela ini tempat mengintip ke ruangan besar di baliknya. Kaca
nako yang dilapisi “glass film” gelap memungkinkan Aku melihat bebas ke
ruangan besar itu tanpa dilihat penghuninya.
Wow! Temanku tak berbohong. Di ruangan besar itu banyak berisi sofa dan
di atasnya “tergeletak” belasan “ayam” yang sungguh membuatku menelan
ludah beberapa kali. Kebanyakan mereka duduk-duduk sambil nonton TV. Ada
yang lagi ngobrol, ada yang berdiri di depan cermin mematut
dandanannya. Umumnya, model pakaian yang dikenakannya minim terbuka di
dada dan paha. Bahkan cewek yang persis lurus pandanganku duduk acuh
celana dalam putihnya “kemana-mana”. Hanya beberapa saat di situ mataku
sudah menebar ke seluruh ruangan. Hasilnya, bingung! Semuanya
menggiurkan.
“Yang mana, Mas?” tanya pengawalku Si Serba Besar ini.
“Entar deh..”
“Si Anu pijitnya enak, Si Itu servicenya jago, Si Ini mainnya yahut..” katanya berpromosi.
Aku tak begitu mendengar ocehannya, lagi asyik meneliti satu persatu
cewek-cewek itu buat menetapkan pilihan tubuh yang pas dengan idolaku.
Pijit, service, main?
“Servicenya apa aja?” akhirnya aku nanya ke Si Besar, tapi mataku masih ke ruangan.
“Apa aja, terserah Mas aja. Di dalam nanti baru tahu,” katanya sok berteka-teki.
Pakaian yang mereka kenakan, terbuka dada dan paha, membantuku untuk lebih cepat menentukan pilihan.
Akhirnya aku menetapkan 3 orang terbaik untuk di observasi lebih teliti.
Yang bergaun coklat tua itu.. hmm.. Wajahnya cantik, kulit bersih, paha
mulus. Sayangnya, buah dadanya tak begitu “menjanjikan”. Bukannya kecil
sih, masih punya belahan. Hanya Aku ingat pesan kawanku tadi.
“Pilih yang berdada besar,” katanya.
“Kenapa?”
“Gak usah banyak tanya, cobain aja.”
Untungnya, seleraku memang dada yang berisi. Yang bargaun hitam lebih
seksi, body-nya menggitar, face-nya biasa-biasa aja. Dadanya? Hanya dia
satu-satunya yang pake gaun menutupi dada tapi membuka kedua bahunya.
Cukup menonjol bulat, tapi jangan-jangan itu hanya model bra-nya.
Bagiku, indikasi dada montok adalah punya “belahan” atau tidak. Si gaun
hitam ini belahannya tertutup.
Yang ketiga, bergaun crem berbunga kecil, agaknya yang paling ideal.
Tubuh lumayan tinggi, pinggang ramping paha bersih panjang, dadanya..
wow! Dengan gaun model “kemben” (menutup separoh dada horisontal), buah
dadanya seakan “tumpah”. Nilai plusnya lagi: berambut panjang lurus
sepinggang. Tapi aku tak segera menyebut nomornya untuk dipesan. Aku
masih menebar pandangan lagi, jangan-jangan ada yang lebih bagus
terlewat dari penelitianku.
“Sama saya aja Mas, nanti ‘dibody’ sebelum main, mau karaoke juga
boleh,” kata pengawalku tiba-tiba. Aku jadi tertarik sama omongannya.
“Dibody?”
“Iya, body massage.”
Body massage, karaoke, dan “main”. Ehemm..!
“Terus?”
“Pokoknya Mas ditanggung puas.”
Iya puas, tapi “You aren’t my type” kataku, dalam hati tentu saja. Kamu
mustinya “menjalankan diet ketat” supaya pinggangmu berbentuk.
“Kalo mereka service-nya sama nggak?” tanyaku.
“Tergantung orangnya sih Mas.”
Aku sejenak ragu. Sama dia macam pelayanannya sudah jelas, tapi tubuhnya
tak masuk seleraku. Pilih Si “Dada tumpah” pas dengan selera, tapi
bentuk pelayanannya belum jelas. Aku kembali menebar pandangan. Rasanya
aku tak menemukan “calon” lain sebaik Si Dada montok. Tapi aku
mendapatkan informasi lain. Di pojok agak atas tertempel karton di
dinding dengan tulisan: “Mulai 1 Juli Rp. 150.000 sejam”.
“Pilih yang di dalam juga silakan, gak pa-pa,” katanya, kudengar ada sedikit nada kecewanya.
“Kok gak ada tamu lain, sih?” tanyaku sekedar menetralkan.
“Baru jam 7 masih sepi, entar malem rame,” jelasnya.
Tak ada pesaing begini memberiku keleluasaan untuk berpikir sebelum
memutuskan. Anda jangan coba menimbang-nimbang begini kalau lagi ramai,
bisa-bisa pilihan Anda disambar tamu lain.Akhirnya keputusanku bulat,
pilih Si Kemben. Keputusan yang agak spekulatif sebenarnya. Tak apalah,
ini kan kedatangan pertama, hitung-hitung “belajar”. Kusebutkan nomornya
pada si Besar ini.
“Yeen, tamu,” teriaknya.
Si Rambut panjang bangkit dan menuju pintu. Ehem, aku tak salah pilih.
Secara keseluruhan bentuk badannya oke. Cara jalannya mirip peragawati
di catwalk, sehingga sepasang buahnya berguncang berirama.
“Yeni,” katanya begitu dia muncul di pintu menyodorkan tangan.
Aku tambah yakin, dadanya benar-benar “menjanjikan”. Yeni membimbingku
menuju lorong. Tanganku langsung merangkul bahunya, bak sepasang
pengantin yang menuju kamar bulan madu.
Begitu Yeni menutup pintu kamar dan menguncinya, Aku menyerbu
memeluknya. Mulutku langsung menuju belahan buah dadanya. Menciumi dan
menggigit pelan.
“Eh.. bentar dong Mas,” elaknya ramah.
Aku tak peduli. Kupelorotkan kemben dan branya, bulatan buah dada
kanannya langsung muncul. Bulat indah, tak ada tanda-tanda turun
walaupun sudah tentu sering dijamah orang. Kuteruskan ciumanku di
dadanya, sampai kemudian aku “menyusu”.
“Mas ini gak sabaran ya?”
Tak ada nada marah, masih ramah. Pelukan kuperkuat, tangan kiriku turun meremas pantatnya.
“Sabar ya Mas..” katanya melepas pelukan. Aku melepas tubuhnya.
“Pijit dulu aja,” sambungnya.
“Udah itu?”
“Mas maunya apa?” tantangnya.
“Maunya service yang memuaskan.”
“Yang memuaskan yang gimana?”
“Body massage, karaoke, dan main,” serangku, meniru servis Si Besar tadi.
“Boleh. Buka baju dulu dong,” perintahnya.
“Bukain,” Aku balik memerintah.
“Hi.. manja,” tapi tangannya bergerak membuka kancing kemejaku, lalu singletku, kemudian ikat pinggangku.
“Ih, udah keras,” katanya menggenggam penisku dari luar sebelum
memelorotkan celanaku. Yeni berhenti ketika tinggal celana dalamku saja.
“Buka semua dong..!” pintaku.
“Nggak ah, takut. Hi hi.. Udah, Mas tiduran deh, entar Yeni pijat dulu.”
Aku merebahkan tubuhku ke kasur, telentang. Tanpa malu-malu Yeni melepas
gaun dan kemudian bra-nya. Buah dadanya memang bulat dan besar. Mungkin
terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang tinggi dan langsing. Aku
mengamati dadanya sambil tegang. Buah dada kanannya nyaris sempurna,
bulat, besar, dengan puting coklat yang kecil. Tapi tak simetris, buah
kirinya agak turun, tak bulat benar. Lalu menyambar handuk dan ke kamar
mandi.
“Yeni mandi dulu ya Mas..!”
“Ya, cepet ya..!”
Keluar dari kamar mandi Yeni berbalut handuk. Yeni membuang handuknya, hanya bercelana dalam.
“Telungkup dong Mas..!”
Aku membalikkan tubuhku. Yeni menduduki pantatku. Penisku yang tegang
terjepit, mengulas minyak ke punggungku, lalu mulai mengurut. Cara
mengurutnya kurang menekan, tidak seenak pemijat profesional tentu saja.
“Kamu dari mana Yen?”
“Cirebon, Mas.”
Selesai di pinggang dan punggungku, Yeni lalu melepas celana dalamku
sambil bilang maaf. Sopan sekali. Aku berbalik. Pandangan Yeni sekilas
mengarah ke penisku yang mengacung tegang.
“Hi hi.. udah tegang.”
“Kamu lepas juga dong..!”
“Okey,” dengan tenang Yeni melepas satu-satunya kain penutup tubuhnya
itu. Bulu kemaluan lebatnya menutupi seluruh permukaan kewanitaannya.
“Balik lagi, dong..!”
Pantatku dipijat, lalu pahaku. Diurut dari belakang lutut ke atas.
Sampai di pangkal pahaku, entah sengaja atau tidak, jempol tangannya
menyentuh-nyentuh bijiku.
“Punggungnya lagi dong Yen..!”
Yeni menduduki pantatku lagi, bulu-bulu kelaminnya terasa sekali
mengelusi pantatku. Memang inilah maksudku dengan meminta pijat di
punggung.
“Katanya body massage..” tagihku.
“Entar dong Mas.”
“Dah, sekarang telentang.”
Yeni menumpahkan minyak ke dada, perut, dan penisku. Lalu.. hup! Dia
“berselancar” di atas tubuhku. “Sreeng”. Aku bergidik, gemetar karena
nikmat. Kedua buah dadanya diusap-usapkan (dengan tekanan) ke dadaku.
Lalu turun ke perutku. Ini sih bukan body massage, tepatnya “breast
massage”. Buah dadanya yang mengkilat berlumuran minyak sering
menggelincir di tubuhku. Tiga kali berurutan dada dan perutku “dipijat”
buah dadanya, lalu.. inilah yang membuatku berdesir kencang. Yeni
menumpahkan minyak di telapak tangannya lalu mengoleskan di kedua buah
dadanya. Buah itu makin mengkilat, dan putingnya tegang! Lalu,
bergantian kiri kanan, buah dadanya memijati kelaminku, mak! Tak itu
saja. Diletakkannya batang penisku di belahan dadanya, lalu di”uyek”.
Yeni menggoyang tubuh atasnya bak penari salsa.
Inilah sebabnya mengapa kawanku menyarankan agar aku memilih yang
berdada besar. Sepasang daging kenyal memijati penisku, rasanya bagai
terbang. Terbayang kan, kalau dada model “papan setrikaan”, bukannya
nikmat malah pegel. Aku harus sekuat tenaga manahan diri untuk tidak
ejakulasi. Apalagi nampaknya Yeni mengkonsentrasikan tekanan dadanya ke
penisku. Untung saja baru kemarin aku “keluar”. Kalau tidak, mungkin aku
sudah menyiram maniku ke dada Yeni. Kadang aku menghentikan gerakan
liarnya, sekedar mengambil nafas panjang. Lalu memerintahkan menggoyang
lagi ketika aku sejenak “turun tensi”.
“Mau keluar ya?” komentarnya.
Yeni menuruti komandoku. Oohh.. cukuplah stimulasi ini, supaya aku bisa
menikmati “service” Yeni lainnya. Aku berhasil menahan diri. Yeni
bangkit.
“Yuk, cuci dulu Mas,” Yeni menghilangkan minyak di dada, perut dan
penisku dengan sabun. Lalu dia membersihkan tubuhnya sendiri. Ini
memberiku kesempatan untuk mengerem nafsuku yang tadi hampir meledak.
Aku menurut saja ketika Yeni megelap tubuhku dengan handuk, lalu
merebahkan tubuhku telentang. Mulailah servis ketiga.
Diciuminya perutku, terus turun ke pahaku, kanan dan kiri sampai ke
dengkul. Naik lagi menciumi kedua bijiku, bahkan mengemotnya, satu
persatu bergiliran bijiku masuk ke mulutnya. Giliran lidahnya menjilati
batang penisku, dari pangkal ke ujung. Di sini dia memasukkan “kepala”
penisku ke mulutnya. Hanya sebentar, dilepas lagi dan mulai menjilati
dari pangkalnya lagi. Begitulah berulang-ulang sampai akhirnya dia
melakukan blow job seperti adegan oral sex di film biru. Kembali Aku
harus “berjuang” untuk tidak meledak. Lagi-lagi aku harus menyetopnya
ketika kurasakan aku hampir muncrat.
Bagian keempat dimulai.
“Pake kondom ya Mas..!”
Maksudku juga begitu. Aku tak mau ambil resiko bermain seks dengan perempuan sewaan begini tanpa pengaman.
“Tolong ambilin di saku celanaku..!”
“Saya bawa kok Mas.”
Dengan terampil dia memasangkan kondom di penisku. Berpengalaman dia rupanya.
“Mas termasuk kuat, lho..!”
Ah, ini sih basa-basi standar seorang profesional.
“Ah, bisa aja kamu.”
“Bener lho, biasanya baru dibody aja udah keluar.”
Aku mencegah Yeni yang mulai menaiki tubuhku. Aku kurang suka dengan
posisi di bawah. Membatasi gerakanku. Yeni telentang dan membuka kakinya
lebar-lebar. Sambil mengulumi putingnya, aku masuk. Belum sempat aku
menggoyang, Yeni duluan memutar pantatnya. Yah, posisi “missionarist”
tak perlu diceritakan prosesnya kan? Anda sudah tahu. Kecuali, beberapa
kali aku terpaksa menyuruh Yeni diam, agar aku dapat memompa sambil
merasakan sensasi gesekan penisku pada dinding-dinding vagina Yeni. Oh
ya, ada lagi yang perlu kuceritakan. Ketika aku mengambil “pause” dari
gerakan memompa, dengan trampilnya Yeni memainkan bagian dalam vaginanya
berdenyut-denyut teratur menyedoti penisku. Rasanya Bung! Susah
digambarkan. Semacam “kompensasi” dari lubangnya yang tak begitu erat
menggenggam penisku. Maklum, sering “dipakai”. Bahkan sampai aku
“selesai” dan rebah lemas menindih tubuhnya, Yeni masih memainkan
denyutan vaginanya! Aku tak menyesali keputusanku untuk memilih Yeni
dibanding Si Serba Menonjol tadi.
“Semua cewek di sana tadi service-nya memang begini ya?” tanyaku membuka kebisuan.
Aku masih menindih tubuhnya, penisku masih di dalam.
“Engga tahu dong, Mas. Cobain aja,” ada nada kurang senang yang tersirat.
“Bukan begitu, cuman pengin tahu aja.”
“Eh, bener kok Mas, Saya engga ada apa-apa. Tamu kan berhak memilih.”
“Mas sering ngeseks ya,” kata Yeni ketika dia melepas kondom dan “memeriksa” isinya.
“Keluarnya dikit,” sambungnya. Tahu aja lagi dia.
“Jangan kapok ya, Mas..!”
“Engga dong,” Serangkaian servis yang disuguhkan Yeni memang memuaskanku.
“Sering-sering ke sini ya..!” Lagi-lagi ucapan basa-basi yang standar.
“Iya dong, kalau ada kesempatan lagi saya ke sini dan pilih kamu lagi.”
“Ah engga usah basa-basi, pasti Mas pengin coba yang lain kan..?” Lagi-lagi, tahu aja lagi dia.